Di sekitar saya, ada orang yang rela mati dan menasehati "inget mati", tapi tidak berani hidup dan menyiapkan hidup yang panjang di dunia ini.
Bagaimana jika kita terlalu mengeluarkan dan tidak ada persiapan untuk kehidupan yang panjang di dunia ini? Semua harta sudah kita dermakan, rumah tidak punya, tabungan tidak punya, pekerjaan tidak punya, apa-apa tidak punya, kesehatan tidak dijaga, sementara kita masih hidup puluhan tahun lagi? 😅
Pernahkah Anda membaca tentang talbis iblis terhadap para sufi atau orang-orang zuhud?
Apa pendapat Anda tentang hal itu?
Mati itu mudah.
Saya pun tidak takut mati dan sudah mempersiapkan kematian saya jauh-jauh hari.
Bahkan, saya sudah memilih lokasi pemakaman saya sejak beberapa tahun silam.
Tidak perlu repot-repot mengingatkan saya supaya ingat mati, saya sudah pernah melihat kedua orang tua saya sendiri sakaratul maut di depan mata saya pada tahun 2009 dan 2018 silam.
Bagaimana mungkin saya bisa melupakan momen itu?
Setelah kita mati, kita tidak perlu mengerjakan apa-apa lagi.
Kita hanya tinggal diam tanpa perlu belajar, berpikir, berolahraga dan bekerja lagi, kita tinggal beristirahat saja dengan tenang hingga masa yang paling indah itu tiba.
Sementara jika kita hidup, kita masih perlu berjuang dan menanggung segala resiko yang tak pasti. Sulit mana? Tentu saja lebih sulit hidup.
Jika kita mencintainya, jangan lagi mengatakan bahwa kita berani mati melainkan berani hidup untuknya, karena jelas kehidupan jauh lebih sulit dan lebih menantang daripada kematian.
Ya, tentu saja bukan hidup yang sekedar hidup.
Selama kita masih hidup, selama itu pula cinta kita akan terus diuji. Kalau sudah mati ya sudah selesai, kita tidak perlu capek-capek lagi untuk membuktikan cinta kita secara nyata, utuh dan konsisten.
Sering kali kita mengatakan "Harta tidak dibawa mati" dalam konteks yang kurang tepat, misalnya untuk membenarkan keborosan atau kemalasan kita.
Di saat kita merasa sombong dengan harta kita, di saat kita terlalu cinta dan melekat pada harta kita, di saat kita pelit untuk bersedekah atau di saat kita baru saja tertimpa musibah seperti kerampokan, kebanjiran dan kebakaran nah kalimat yang seperti itu baru cocok untuk kita lontarkan. Seperti apa yang saya tulis di post saya sebelumnya yang berjudul "
detachment".
Mengambinghitamkan takdir, bawa-bawa nama Tuhan atau akhirat untuk membenarkan pilihan-pilihan kita yang jelek (misalnya menyia-nyiakan potensi diri, memilih untuk bermalas-malasan dan menolak untuk bekerja keras dengan alasan tidak butuh harta) adalah hal yang amat buruk. Padahal di Al Qur'an surat Al Insyirah jelas sekali bahwa kita diminta untuk bersungguh-sungguh setiap kali melakukan suatu urusan. Sebaiknya kita mengembangkan dan memanfaatkan amanah berupa potensi diri yang Tuhan berikan, bukannya malah malas-malasan. Kalau kita gak butuh banyak harta ya kita bisa bagi-bagikan harta itu ke mereka yang membutuhkan. Lebih peka aja, belajar berempati pada lingkungan sekitar. Di sekitar kita banyak sekali loh pihak yang membutuhkan uluran tangan kita, banyak yang membutuhkan sumbangan harta kita. Kita harus bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan, we're blessed to be a blessing to others. Bukannya cari aman dan nyaman sendiri (yang penting kita selamat, yang lain susah atau menderita bodo amat).
Kita bisa menggunakan harta kita untuk banyak sekali kebaikan, membantu pembangunan masjid di daerah-daerah terpencil supaya orang tua kita dibangunkan istana di surga misalnya. Wah, banyak bangetlah kebaikan yang bisa kita lakukan dengan harta kita. Bagusnya sih jangan hanya niat, tapi benar-benar kita lakukan karena orang-orang itu tidak hanya membutuhkan niat baik kita, tapi aksi nyata dari kita. Mereka butuh uang untuk membeli semen, pasir, cakar ayam, genteng, keramik, kusen, keran, sajadah, speaker masjid dll. Kalau semua orang cuma niat baik atau ngasih doa ya gak jadi-jadi atuh masjidnya.
Tapi kalau posisinya kita sedang gak punya banyak harta atau sedang tidak punya ide/kapasitas/kesempatan untuk menghasilkan banyak harta dengan jalan yang halal, kita bisalah mewujudkan niat baik kita dengan mengajak orang-orang untuk melakukannya. Jangan malah menempuh jalan-jalan yang sesat atau berlebihan sehingga kita menjadi terhina dan kesusahan sendiri, misalnya dengan merampok, korupsi, jual diri, jual ginjal atau memberikan segalanya hingga kita jadi hidup miskin dan luntang-lantung di jalanan. Jangan jadikan harta sebagai tujuanlah intinya, harta itu cukup kita jadikan alat aja untuk berbuat baik. Kalau kita belum bisa ngasih banyak harta padahal kita
sudah niat baik dan nyoba semaksimal mungkin, kita bisa menghimbau orang-orang untuk berbuat baik. Kalau kita begini, derajat kita dengan yang golongan kesatu sama aja. Ya, sebagai tokoh yang berpengaruh misalnya guru dan dosen, kita bisa aja menggerakkan murid-murid kita yang kaya, punya kuasa atau banyak karyawan itu untuk berbuat baik. Seperti yang pernah saya singgung di post lama saya yang berjudul "
Be Mindful of Your Impact".
Kalau kita hidup sendiri mungkin kita tidak perlu memikirkan harta. Kita bisa makan seadanya, tidur di mana saja dan bekerja serabutan, tapi jika kita memiliki keluarga? Tentu kita perlu harta yang cukup untuk memberikan penghidupan yang layak bagi keluarga kita, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Misalnya untuk membeli/menyewa tempat tinggal yang layak, membeli pakaian yang pantas serta membeli makanan yang bergizi. Kita juga perlu harta untuk membiayai pendidikan dan akses kesehatan keluarga kita. Jika kita cinta dengan keluarga kita, tentu kita ingin memberikan rasa aman dan nyaman kepada mereka, kita ingin agar mereka memperoleh semua hak-hak mereka dengan baik, termasuk hak untuk berekreasi.
Mencari harta dan mempergunakan harta kita untuk mengakomodasi keluarga itu termasuk jihad yang agung di jalan Allah, bukan? Ya, ibadah itu luas sekali. Ibadah tidak sebatas ritual suci yang kita kerjakan di rumah ibadah. Senyum ibadah, menyingkirkan paku dari jalan ibadah, mengajarkan kebaikan ibadah, merawat tubuh kita ibadah, melayani pasangan ibadah. Kerja untuk mencari harta dan bersedekah kepada keluarga kita pun merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung.
Ya, segalanya bisa kita jadikan ladang amal dan ibadah kalau kita niatkan dan lakukan dengan cara-cara yang diridhoi olehNya.
Orang yang malas bekerja dan tidak punya harta, bisa melakukan banyak dosa yang sebenarnya tidak ingin dia lakukan.
Tidak punya harta tapi butuh dana darurat, akhirnya bisa terjerat pinjol dan jadinya malah riba.
Demi melunasi hutang yang kian membengkak, akhirnya nekat berburu uang instan dengan melakukan pekerjaan yang haram dlsb.
Nauzubillah min dzalik.
Orang malas cenderung berpikir untuk menikahi orang yang kaya saja agar bisa keluar dari kemiskinan dan hidup enak tanpa bersusah payah. Tapi masa iya sih kita menikah karena harta? Nikah kan ibadah yang harus diniatkan untuk mencari keridaan Allah semata.
Kalau butuh harta, kita kan bisa melakukan berbagai pekerjaan yang halal dan bermanfaat bagi lingkungan hidup dan masyarakat luas. Jangan hanya menunggu atau berharap dari orang lain, apalagi pakai jalur menikahi orang yang tidak kita cintai. Nauzubillah min dzalik.
Berharap ya sama Allah aja. Sekaya apapun pasangan kita, dia bisa bangkrut juga, entah karena gaya hidup foya-foya, hobi ngutang, reputasinya jatuh, melanggar hukum sehingga ijin usahanya dicabut, harus ganti rugi/bayar denda yang besar, tidak mampu bersaing dengan kompetitor lainnya, ditinggalkan oleh para pelanggan, hobi pamer barang mewah sehingga terkena ain, orangnya gengsian alias gak mau kalah dari orang lain tanpa melihat kemampuan diri dan resiko, orangnya sombong sehingga disumpahin miskin sama orang yang iri dengki atau merasa sakit hati karena diremehkan olehnya, sakit parah dan membutuhkan banyak biaya, diperas orang lain, menikah dengan selingkuhannya lalu meninggalkan kita begitu saja, ditipu rekan bisnis, kena investasi bodong dan lain sebagainya. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat bisa kepleset juga. Orang yang sangat piawai dalam berbisnis juga bisa melakukan kesalahan fatal yang tak terpikirkan begitu saja di luar kebiasaan mereka lho, lalu kehilangan segalanya bahkan sampai defisit dalam sekejap mata. High risk iya, high return boro-boro.
Satu hal lagi, jika kita melihat ada orang yang giat bekerja dan mengumpulkan banyak harta, jangan serta merta menghakimi dan mengambil kesimpulan yang buruk. Hal itu belum tentu menandakan bahwa dia tidak ingat mati, tidak peduli akhirat, gila dunia, cinta dunia, terlalu mengejar dunia, kurang bersyukur, serakah, materialistis dlsb.
Bisa jadi dia meniatkan semua itu untuk ibadah, untuk kehidupan akhiratnya, untuk memuliakan kedua orang tuanya bahkan yang telah wafat dengan beramal atas nama mereka. Bisa jadi dia punya cita-cita yang besar untuk membantu banyak orang dengan hartanya, misalnya membuka lapangan pekerjaan yang halal dan berkah bagi banyak orang, membangun sekolah gratis, mendanai riset dan mendukung para peneliti, membangun panti asuhan dan panti werda yang berkualitas, menjadi donatur tetap pengeboran sumur air dan penghijauan di berbagai titik, membantu pengobatan kalangan menengah ke bawah, memberikan makanan gratis secara rutin ke orang-orang yang membutuhkan di jalan dlsb.
Ya kita memang bisa mati kapan saja, tapi kita juga bisa berumur panjang. Persiapkanlah diri kita untuk menyambut keduanya.
Jangan hanya mengingat mati atau hanya mengingat hidup. Ingatlah keduanya supaya kita bisa mempersiapkan kehidupan yang selamat dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat dengan sebaik-baiknya.